Gita Nuari
Ada bulan di atas atap rumah ketika Putri Langit datang menemui Supria yang sedang tertidur di samping istrinya. “Untung kamu datang, Putri,” sambut Supria di dalam mimpinya. ”Sudah lama aku menunggumu. Ke mana saja kamu, Putri. Aku gelisah sejak sore tadi,” lanjut Supria dengan hati yang teramat girang. “Aku menemui orang-orang yang dilanda gelisah seperti kamu. Mereka semua meminta aku untuk mengunjunginya,” sahut Putri Langit sesaat setelah turun dari langit dengan mengendarai selendang kabut. “Bukankah engkau pernah berucap, diriku akan lebih engkau perhatikan ketimbang yang lain. Bukan begitu Putri?” “Benar. Perhatianku kepadamu lebih daripada yang lainnya. Tapi tidakkah engkau mengutamakan energi berpikirmu untuk anak dan istri, juga orang-orang yang dekat denganmu?” “Justru itu Putri, aku jadi tersiksa. Aku merasa dikebiri oleh mereka. Aku seperti kuda, dipecut untuk terus berjalan. Bahkan berlari mengejar yang tak pasti.”
Putri Langit terdiam. Supria merasa tak enak hati.
“Putri, maafkan aku. Aku amat serakah ingin menguasai kebaikan hatimu.” “Jangan berkata seperti itu,” ujar Putri Langit. “Semua mahluk sepertimu itu serakah. Tapi tidak seharusnya engkau seperti mereka.” “Benar, Putri. Tapi, jiwa inilah yang tak bisa tenang. Persoalan demi persoalan bemunculan tanpa peduli persoalan lama belum selesai,” beber Supria. “Sudahlah,” suara Putri Langit melunak. “Aku cukup kasihan padamu. Kemarilah lelakiku, pegang tanganku. Ayo, ikut pergi denganku,” bimbing Putri Langit membawa Supria terbang ke atas langit menerobos gumpalan-gumpalan awan.
Di atas langit, tepatnya di Kerajaan Serba Ada, Supria diturunkan. “Kita sudah sampai, lelakiku,” suara Putri Langit lembut. “Jangan sungkan untuk meminta.” Supria yang telah berada di ruang berdinding cahaya itu tampak terlihat gugup. Mungkin kehidupannya di alam fana begitu sulit untuk meraih sesuatu. Sedangkan di Kerajaan Serba Ada ini semua serba mudah. Misalnya, ketika Supria kehausan, tiba-tiba saja bermacam jenis minuman segar tersedia di hadapannya.
“Bagaimana?” Tanya Putri Langit.
“Sungguh menakjubkan!” cetus Supria terkagum-kagum.
“Di dunia kamu telah kehilangan suasana surga?” Supria tersipu malu. Disingkirkannya gelas minuman dari hadapannya, lalu menatap Putri Langit dalam-dalam. “Aku ingin bercinta,” desisnya. Kali ini Putri Langit yang tersipu malu. “Kenapa? Apa kamu menolak bercinta denganku?” kejar Supria. “Tidak,” sahut Putri Langit. “Justru aku membawamu ke sini untuk melupakan semua yang membebani pikiranmu.” Supria begitu senang hatinya mendengar Putri Langit berkata seperti itu. Dan, Supria menerima uluran tangan Putri Langit, terus mereka berpelukan. Di angkasa mereka seperti kapas berguling-guling seakan hendak menguasai alam semesta. Mereka menjelma bintang, berkelap-kelip di angkasa raya. Pada saat yang lain, mereka seperti dua cahaya meteor yang bertubrukan. Tubuh mereka memercikkan beribu cahaya. Begitu indah.
“Aku bahagia sekali, Putri.”
“Aku senang kau bisa bahagia.”
“Aku ingin memilikimu selamanya.” Putri Langit mengendurkan pelukannya, lalu berkata, “Serakah kemanusiaanmu muncul lagi. Mestinya kau tak perlu mempunyai sifat seperti itu lagi.” “Di bumi aku tersiksa sekali. Aku seperti kuda, dipecut untuk selalu terus berjalan. Aku tak mau turun lagi, Putri. Aku mau selalu bersamamu,” kata Supria memberi alasan. “Jangan begitu, lelakiku,” sanggah Putri Langit. “Aku akan datang dan membawamu ke mana kamu suka, asal kamu tidak mementingkan dirimu sendiri.”
“Apa benar begitu?” Supria jadi penasaran. Putri Langit tak menyahut. Sebaliknya, ia membawa Supria turun ke bumi untuk melihat apa yang dikerjakan oleh orang-orang dekat Supria. Siang atau malam, orang-orang yang berada di bumi tak melihat keberadaan Putri Langit atau Supria yang telah menjelma angin. “Kamu kenal dengan orang itu, lelakiku?” tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang perempuan di belakang gerobak rokok. “Hah, itu Winarti? Istriku! Sedang apa dia?” ucap Supria heran. “Lihat saja dulu, ke mana dia setelah ini,” kata Putri Langit mengenai keberadaan istri Supria di pinggir jalan. Dan, perempuan yang dikenal sebagai istrinya itu kini berjalan menuju halte bus. Sebuah bus kota muncul. Perempuan itu naik ke dalam bus kota bersama beberapa calon penumpang. Di dalam bus perempuan itu mengeluarkan alat musik sebangsa ketimpring dari dalam tasnya. Lalu perempuan itu menyanyi.
“Astaga, istriku mengamen!?” “Nah, ternyata orang yang kamu anggap telah menyiksa dirimu, justru sebaliknya. Dia lebih tabah ketimbang dirimu,” tukas Putri Langit. Mata Supria tak berkedip. “Winarti! Winarti!” teriak Supria dari atas angkasa.
“Istrimu tidak akan mendengar atau melihat. Sebab kita sedang dalam wujud angin. Mau lihat yang lainnya?” tawar Putri Langit kemudian. Supria mengangguk. Bahkan ia bernafsu ingin melihat semua kejadian pada saat dirinya berada di tempat lain. “Ayo Putri, bawa aku ke tempat orang-orang di mana aku tak ada di dekatnya.” “Dengan senang hati, lelakiku,” sambut Putri Langit seraya menuntun tangan Supria. Dan terus, mereka berkesiur ke pohon-pohon di tepi jalan sehingga menyejukkan mereka yang sedang berteduh di bawahnya. “Kamu lihat anak itu? Coba perhatikan siapa dia?” tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang anak laki-laki yang sedang menyedot minyak tanah dari mobil tangki dengan menggunakan selang yang dimasukkan ke jirigen. Bocah kecil itu melakukannya di saat mobil tangki minyak itu terjebak lampu merah. “Ya Tuhan, itu anakku! Itu anakku! Oh, sekecil itu dia sudah berada di jalan raya! Bagaimana ini, Putri?” keluh Supria semaput. “Itulah. Ternyata anakmu pun tak mau tinggal diam terhadap kehidupan ini. Meski di mata kita perbuatannya itu salah, tapi itulah yang aku bilang tadi, mereka juga sedang merasakan kesusahanmu. Ikut bersikap bagaimana untuk menata hidup ini secara benar. Bersyukurlah, anak dan istrimu sedang membangun prinsip-prinsip di dalam hidup ini.” Supria tercenung. Sebagai angin dia memilih bersemayam di dahan pohon. Bersembunyi dari hiruk-pikuk persoalan. Dia ingin berteriak tapi entah seperti apa bunyinya. Tentu anak dan istrinya tak akan tahu kalau yang berkesiur di sekelilingnya itu adalah sang suami, sang ayah yang telah berburuk sangka terhadap dirinya. “Mau lihat yang lainnya lagi?” tantang Putri Langit sambil menarik tangan Supria dari rimbun pohon yang tumbuh di tepi jalan raya itu. Supria menurut. Dia tak bisa menolak. Putri sudah berbuat baik, pikirnya. Maka dengan senang hati Supria mengikuti terus ke mana Putri Langit pergi walau harus meninggalkan raganya di tempat lain. “Apakah engkau ingin melihat orang-orang yang engkau anggap telah berjasa di tempat tinggalmu, Supria?” tanya Putri Langit kemudian.
Supria merasa senang kalau memang itu bisa. “Kamu tahu siapa dia?” tanya Putri Langit melalui lubang angin pada sebuah hotel yang mereka datangi. Ya, aku kenal. Dia adalah seorang lurah di desaku. Tapi kenapa dia bersama perempuan yang bukan istrinya?” Supria berkata. “Jangan bingung, lelakiku,” kata Putri Langit. Lalu Putri Langit membawa Supria yang tengah bingung ke sebuah hotel lainnya. “Kamu kenal dengan perempuan yang ada di dalam kamar hotel itu?” tanya Putri Langit untuk yang kesekian kali. “Oh, itu! Bukankah itu istri temanku? Mengapa dia berdua dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam hotel? Ah, dunia apa ini, Putri?” Tanpa menyahut Putri Langit membawa Supria pergi lagi untuk melihat-lihat sesuatu yang belum diketahui oleh kekasih batinnya itu melewati daerah-daerah yang belum pernah Supria kunjungi. Kedua makhluk yang menjelma angin itu berkesiur ke tenda-tenda kafe, terus naik lagi ke gedung-gedung tinggi, kemudian berhenti sebentar di sudut-sudut ruang. Hampir semua pemandangan yang dilihatnya sangat bertentangan dengan hati nuraninya. “Dan yang ini,” kata Putri Langit sambil menunjuk ke sebuah rumah yang terpisah dari perkampungan penduduk. “Kamu mungkin tak kenal dengan perempuan tua itu, tapi tentunya mengenal sekali dengan perempuan muda yang sedang terbaring itu,” lanjut Putri Langit setelah mereka masuk ke rumah itu melalui lubang angin di atas jendela. Supria terkejut bukan main. Dia hampir tak percaya.
“Astaga! Bukankah itu Punasokawati, anak tetanggaku? Oh, mengapa dia dalam keadaan setengah telanjang dengan kedua kaki direntangkan?”
“Dia mau aborsi!” sela Putri Langit.
“Apa itu aborsi?”
“Mengeluarkan jabang bayi dari rahimnya.”
“Lho, bukankah Punasokawati itu belum punya suami?” “Itulah, karena kecerobohannya mengenal laki-laki tanpa pandang bulu. Siapa saja dia pacari. Sampai-sampai dia hamil. Dia sendiri tidak tahu siapa ayah anak yang ada di dalam kandungannya itu,” jelas Putri Langit. Supria mundur. Dia mau muntah. Kepalanya berdenyut. Perutnya mual.
“Kenapa lelakiku, apa kamu terkejut?”
Supria galau.
“Apa mau lihat yang lebih gila lagi?” tawar Putri Langit kemudian. “Ti.. tidak, tidak! Sudah Putri, jangan kau teruskan lagi membawaku ke dalam kehidupan gila itu. Jangan lagi Putri! Putri!” Mendengar ocehan Supria, Winarti, istri Supria yang galak dan cerewet itu terjaga dari tidurnya. Siapa Putri? Pikirnya. ‘Kurang ajar!’ Kutuknya kemudian. Hati sang istri tiba-tiba terbakar api cemburu di pagi buta. Tanpa basa-basi lagi, sang istri itu mengambil air dari dalam gentong lalu disiramkan ke wajah suaminya. “Dasar bajingan! Siapa Putri, heh! Siaaappaaa!” teriak Winarti sambil menjambak rambut Supria dengan kasar sehingga suaminya itu terlempar dari atas tempat tidurnya. Supria yang masih gugup dan bingung itu hanya melongo di lantai kamarnya, tanpa bisa menjelaskan duduk persoalannya. ***
Suara Karya, Edisi 06/18/2006 Suara Karya, Edisi 06/18/2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar