Rabu, 29 April 2009

Renungan Gus Mus

"Jangan mencari BANYAK, carilah BERKAH!"

"BANYAK bisa didapat dengan hanya MEMINTA. Tapi MEMBERI-lah yang akan mendatangkan BERKAH."


(Gus Mus, dalam bukunya Mencari Bening Mata Air; Renungan A. Mustofa Bisri, Penerbit Buku Kompas, September 2008)



sember:
http://fajarspramono.blogspot.com/2008/09/keberkahan.html

Bila KutitipKan

--sebuah puisi--

BILA KUTITIPKAN

Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung

Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai

Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang

Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi

Kan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku

Kusimpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku

Kusimpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku

Kusimpan sendiri.


Sebuah laku kebijaksanaan dan kebesaran hati yang tergambar dalam puisi itu, yang layak dijadikan "teladan". Berkorban dan bersedia menahan diri demi menghidari kerusakan yang jauh lebih besar. Luar biasa.

Atau, coba simak yang ini :

--sebuah puisi--

RATSAA

anak-anakmu kau serahkan babumu
istrimu kau serahkan sopirmu
dirimu kau serahkan sekretarismu
tuhanmu kau serahkan siapa?

1413

Begitu dalam maknanya, terlebih bagi kita yang seringkali tenggelam dalam kesibukan dunia, dan bahkan lebih mementingkan kesibukan itu dibanding "kesibukan bercengerama" dengan Tuhan.



sumber:
http://fajarspramono.blogspot.com/2008/09/sedikit-tentang-karya-gus-mus.html

Renungan Gus Mus

--sebuah renungan--

Kebenaran kita berkemungkinan salah,
kesalahan orang lain berkemungkinan benar.

Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.


sumber:
http://fajarspramono.blogspot.com/2008/09/sedikit-tentang-karya-gus-mus.html

Renungan Gus Mus

Bukankah kalau ada yang meminta kepadamu,
kau memberinya sesuai kehendakmu,
atau bahkan kadang tidak memberinya sama sekali?

Mengapa kalau kamu memohon kepadaNya,
Ia kauharuskan memberimu sesuai kehendakmu?

Memohonlah kepadaNya. Ia pasti memberimu dan biarlah Ia memberimu sesuai kehendakNya.






sumber:
http://fajarspramono.blogspot.com/2008/09/sedikit-tentang-karya-gus-mus.html

GUs Muslih

GUs Muslih

A Mustofa Bisri

GUS Muslih adalah seorang kiai muda yang tidak hanya cerdas dan kritis, tapi juga tegas dan lugas. Apabila melihat sesuatu yang dianggap tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan menyalahkan. Ungkapan yang paling disukai ialah qulilhaqqa walau kaana murran, katakanlah yang benar meski terasa pahit. Anak-anak muda paling suka mengundang Gus Muslih untuk memberikan ceramah. Bagi anak-anak muda itu, Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di daerah kami yang dihujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya kebiasaan keluarga yang mendapat musibah kematian, memberi makan kepada para tamu yang bertakziah dan memberikan uang salawat kepada kiai atau modin, dia tentang habis-habisan.”Ya kalau keluarga yang tertimpa musibah itu keluarga yang berada, tak masalah,” katanya dalam sebuah ceramahnya. “Kalau keluarga itu miskin? Apakah hal itu tidak menambah musibah?”Terhadap sikapnya itu ada yang setuju, seperti umumnya anak-anak muda; ada juga yang tidak. Mereka yang tidak setuju umumnya dari golongan tua. Golongan tua yang tidak setuju menganggapnya terlalu kemajon, sok maju. “Wong itu sudah merupakan tradisi sejak lama kok diuthik-uthik!” begitu kilah mereka, “Itu namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mula-mula mentradisikan.”

Lukisan Kaligrafi

Lukisan Kaligrafi

A Mustofa Bisri

Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti idealismenya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi sangat peka terhadap kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal. Mungkin karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi. Menurut Hardi, kedatangannya di samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera menyambutnya antusias. Namun, ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni dan khususnya seni rupa. Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya dalam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada hurufnya yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan sebagainya. Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang-meskipun agak sok- telah memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama seni rupa. ***RINGKAS cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkannya sampai pintu. Nah, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di atas pintu, lalu katanya, “Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?” Ustadz Bachri tersenyum, “Itu rajah. Saya yang menulisnya sendiri.” “Rajah?” “Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu rajah penangkal jin.” “Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?” Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu. “Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur sedikit dengan minyak za’faran. Katanya minyak itu termasuk syarat penulisan rajah.” “Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.” “Saya? Saya melukis kaligrafi?” katanya sambil tertawa spontan. “Tidak. Saya serius ini,” tukas tamunya, “sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan berkarakter. (“Ini apa pula maksudnya?” Ustadz Bachri membatin, tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya, ya!” Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk. Setelah tamunya itu pergi, dia benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian, dia oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab tentang khath dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan datang ke kota untuk sekadar melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membeli kanvas, cat, dan kuas. Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan melukis. Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk “sanggar melukis”. Mungkin tidak ingin diganggu atau malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan beberapa kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah ada yang sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali. “Ternyata sulit juga melukis itu,” katanya suatu ketika dalam hati, “enakan menulis pakai kalam di atas kertas.” Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran. Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah “lukisan”. Ketika sang kurir menanyakan judul lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi kemudian dia hanya mengatakan terserah. “Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah dia!” katanya. Dia sama sekali tidak menyangka. ***MESKIPUN ada rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan kawannya Hardi, yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran-di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak. Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap di antara pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya di antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di pajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa dengan pencahayaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan. “Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?” pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu dipasang?” Sampai akhirnya, ketika acara pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya “Jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak memenuhi standar.” Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan diri di balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang menerang-nerangkan kepada sekerumunan pengunjung yang menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup banyak kepala yang sedang memperhatikannya. “Lha ini dia!” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh begitu banyak orang, “Ini pelukisnya!” kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya, “Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini seorang kolektor dari Jakarta, ingin membeli lukisan sampeyan.” Astaga, ternyata lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan yang menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak hanya pandai melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca angka dalam keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya: 10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS! Gila! “Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;” tiba-tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk bahunya, “apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!” Dia tersipu-sipu. Hardi membisikinya, “Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!” “Katanya, Anda baru kali ini ikut pameran,” kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan air mukanya yang merah padam, “teruskanlah melukis dari dalam seperti ini.” (“Melukis dari dalam? Apa pula ini?” pikirnya) Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri di dekat lukisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan dijawabnya sekenanya. Mau bilang apa? Besoknya hampir semua media massa memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah, melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu sama sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas kosong! Beberapa hari kemudian, beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan alifnya yang menggemparkan. Tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti ketika pameran dia asal menjawab saja. Ketika makan siang, istri dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan alifnya itu pula. “Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti wartawan?!” teriaknya kesal. “Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian mahalnya?” tanya anak sulungnya. “Kenapa sih Bapak hanya menulis alif?” tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan kakaknya, “mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti umumnya kaligrafi yang ada?” Istrinya juga tidak mau kalah rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya. “Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?” Ustadz Bachri geleng-geleng kepala. Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah. “Begini,” katanya sambil menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu penuh perhatian, “terus terang saja; saya sendiri sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri, saya melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa tertantang.” “Saya sendiri baru menyadari bahwa meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya terus.” “Lalu, ketika cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis besar memamerkan kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?” Ustadz Bachri berhenti lagi, memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, “Ketika saya sudah siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini, lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namun, ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif itu saja.” “Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?” sela si bungsu. “Ya, niat semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian orang begitu besar terhadap lukisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang sedemikian gagah itu.” “Tetapi, sampeyan belum menjawab pertanyaan saya,” tukas istrinya, “sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?” “Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang membuatnya tak tampak ketika difoto.” Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak. *

Sumber: Kompas, Edisi 11/24/2002

Doa Kiai Sepuh


Humam S. Chudori

Sejak Kadir ke rumah Kiai Sepuh, banyak orang yang mengatakan sang kiai mendukung pencalonan lelaki bertubuh tegap itu sebagai bupati. Tidak jelas siapa yang mula-mula menyebarkan berita ini. Yang pasti, berita itu tersebar setelah dua kali Kadir bertandang ke rumah lelaki berusia tiga perempat abad lebih itu.Masyarakat memang banyak yang percaya pada keampuhan doa lelaki yang sudah lama hanya bisa duduk di kursi roda itu. Mereka sangat meyakini karomah yang dimiliki sang kiai. Berita adanya restu dari sang kiai terhadap calon pemimpin itu, tentu saja, makin meyakinkan para pendukung Kadir. ‘Sang jago’ dianggap mendapat restu dari sang kiai. Dan, usaha yang mendapat restu dari Kiai Sepuh hampir bisa dipastikan selalu berhasil. Sementara, dua calon lainnya tak ada yang sowan ke rumah sang kiai. Meskipun berita itu sudah sangat santer, menyebar, sang kiai tetap saja tak pernah mau tahu kalau dirinya dianggap mendukung salah satu calon pemimpin wilayah itu. ”Mendengar masalah-masalah dari luar, apalagi yang sifatnya duniawiah, dapat menjerumuskan seseorang menjadi penghuni neraka,” demikian prinsip Kiai Sepuh yang diperoleh dari sang guru, ayah kandungnya sendiri, sebelum ia dipercaya menggantikan kedudukan sang ayah untuk memimpin pondok pesantren.Sejak memimpin pondok pesantren, Kiai Sepuh nyaris tak pernah keluar dari lingkungan pesantrennya. Kesibukan sehari-harinya hanya mempelajari kitab kuning, ber-muzakarah, memimpin majelis zikir di masjid yang terletak di depan rumahnya, serta kegiatan ibadah mahdhah lainnya. Apalagi sejak dua tahun lalu, setelah ayah dari lima orang anak dan kakek tiga belas cucu itu harus berkursi roda akibat terjatuh di kamar mandi. Ia semakin jarang keluar rumah. Bahkan hanya sesekali keluar dari kamar, tempatnya ber-taffakur. Mungkin karena ia sudah tidak memimpin pondok pesantren lagi. Memang, sudah tiga tahun lebih kepemimpinan pondok pesantren dipercayakan kepada Nurdin, anaknya yang kedua. Anak pertama Kiai Sepuh, Sholawati, adalah seorang perempuan. Rumah Kiai Sepuh terletak di tengah pondok pesantren yang didirikan almarhum ayahnya. Rumah itu tak pernah sepi dari tamu. Bukan hanya orang yang tinggal di sekitar pondok pesantren saja tamu yang datang. Banyak pula orang dari luar kota. Setiap malam Jumat, Kiai Sepuh mengadakan majelis zikir di masjid depan rumahnya. Usai berzikir bersama ia memberikan tausiah. Tidak jarang masjid itu tak mampu menampung jamaah. Karena saking banyaknya orang dari luar kota yang ikut hadir dalam majelis zikir, kendati tidak setiap malam Jumat Kiai Sepuh akan memimpin acara tersebut. Apalagi setelah ia hanya bisa duduk di kursi roda.Sebenarnya Kiai Sepuh tidak pernah mengatakan mendukung atau merestui Kadir sebagai calon bupati. Baginya siapa pun boleh datang untuk bersilaturahmi ke rumahnya. Boleh datang ke pondok pesantrennya. Boleh menghadiri majelis zikirnya. Meskipun tidak setiap kali majelis zikir yang diselenggarakan pasti akan diisi tausiah olehnya. Melainkan oleh murid-murid yang telah mendapat kepercayaan sang kiai untuk memberikan tausiah.Pada hari Jumat, setelah melaksanakan shalat dhuha, Kiai Sepuh akan keluar dari kamar. Memberi kesempatan kepada para jamaah — terutama yang datang dari luar kota — yang ingin bertemu dengannya. Kendati akhirnya hanya bisa berjabat tangan dengan sang kiai, mereka yang datang dari luar kota tidak merasa kecewa. Sebab, untuk bisa berbincang-bincang dengan sang kiai sangat tidak memungkinkan. Apalagi jika menyadari jamaah yang datang ke tempat itu sangat banyak. Mereka sudah cukup bersyukur apabila bisa mencium tangan sang kiai, dan ini diartikan akan mendapatkan berkah dari sang kiai.Hasil penghitungan pemilihan suara sudah selesai. Ternyata, Kadir calon yang dianggap telah direstui oleh Kyai Sepuh tak berhasil meraih suara terbanyak. Berati ia gagal menjadi bupati. Betapa kecewa Kadir dan para pendukungnya. Jamaah majelis zikir Kiai Sepuh mulai berkurang, setelah Kadir gagal menjadi bupati. Kendati pondok pesantrennya tetap tidak berubah. Tak ada santri yang keluar.”Benar bahwa iman itu ada saatnya bertambah dan ada saatnya berkurang. Barangkali, saat ini keimanan masyarakat tengah menurun. Hingga banyak orang mulai malas menghadiri pengajian,” pikir Kiai Sepuh, tatkala menyadari majelis zikirnya tidak seramai dulu.Ustad Sani merasa heran. Ia tidak dapat memahami kenapa majelis zikir itu tidak seramai dulu. Meski orang-orang yang tinggal di luar kota masih saja mengalir. Namun, tidak sebanyak dulu orang yang hadir di majelis zikir yang diselenggarakan Kiai Sepuh pada setiap malam Jumat. ”Jangan-jangan karena Pak Kiai sudah jarang memberikan tausiah pada majelis zikir?” pikir Ustad Sani.”Tapi apa mungkin? Bukankah Pak Kiai sudah hampir satu tahun tak pernah memberikan tausiah sendiri,” bantah batinnya sendiri, ”Tetapi, kenapa baru sekarang jamaah menjadi berkurang.” Jangan-jangan ada yang menyebarkan fitnah terhadap Pak Kyai? Tetapi, apa ada yang berani berbuat demikian? Atau justru fitnah itu ditujukan untuk saya, karena selama ini saya yang menggantikan beliau memberikan tausiah. Toh, sampai saat ini beliau masih tetap yang memimpin jamaah zikir. Setumpuk pertanyaan memenuhi benak Ustad Sani. Namun, tak satu pun yang mampu dijawabnya sendiri. ”Doa Kiai Sepuh sekarang sudah tidak makbul lagi.”
”Buktinya, Pak Kadir, satu-satunya calon yang mendapat restu dari Pak Kiai, gagal jadi bupati.” ”Buat apa kita ke sana kalau cuma sekedar untuk bersalaman.””Pantas, anak saya tetap juga belum berjodoh, padahal sudah hampir satu tahun saya rajin menghadiri majelis zikir Pak Kiai.”
”Anak saya juga tak diterima di sekolah yang diinginkannya.”
”Saya juga. Sudah puluhan kali ikut majelis zikir Kiai Sepuh. Tapi, usaha saya tetap tak berubah. Tetap saja tidak maju-maju. Bahkan belakangan ini malah merosot. Mungkin doa Pak Kiai sudah tak makbul lagi.”Masih banyak lagi komentar senada yang menilai doa Kiai Sepuh sudah tidak semakbul dulu lagi. Demikian berita yang beredar dalam masyarakat. Itu terjadi setelah Kadir gagal menjadi bupati. Kiai Sepuh hanya tersenyum, tatkala mendapat laporan tersebut dari ustad Sani. ”Saya tidak tahu siapa yang mula-mula menyebarkan berita seperti itu, Pak Kiai,” lanjut Ustad Sani.
”Terus kalau tahu, apa yang akan kamu lakukan?
” tanya Kiai Sepuh.
Ustad Sani tak berkutik mendapat pertanyaan itu.
”Lagipula untuk apa perlu tahu hal-hal semacam itu,” lanjut sang kiai. Ustad Sani diam.
”Kalau sekarang mereka tak mau melakukan zikir bersama, memangnya kenapa? Kalau mereka menilai saya seperti itu, ya alhamdulillah! Sebab, kalau tujuan mereka ikut dalam majelis zikir untuk hal-hal semacam itu, ingin usahanya lancar, mendapat jodoh, memperolah pekerjaan, mempertahankan jabatan, sungguh tidak tepat nawaitu mereka itu. Meskipun berdoa juga merupakan salah satu upaya agar keinginannya terkabul. Tetapi, kalau tujuan mereka ikut majelis zikir di sini seperti itu jelas keliru.” Ustad Sani masih tetap diam.
”Sekali lagi kita perlu bersyukur,” lanjut Kiai Sepuh, kalem. Tenang. Tidak ada tanda-tanda kalau ia kecewa dengan laporan tersebut. ”Dari sini kita jadi tahu mana yang emas dan mana yang loyang.”Lelaki baya itu sama sekali tidak terkejut mendengar berita yang disampaikan Ustad Sani. Lantaran selama ini ia berharap agar yang datang ke majelis zikirnya adalah orang-orang yang ingin ber-taqarrub kepada Allah, bukan untuk yang lain-lain. Namun, kalau kemudian Allah mengabulkan hajatnya setelah bergabung dalam majelis zikir, itu soal lain. Karena itu hak prerogratif Allah.Sebenarnya sejak beberapa tahun lalu ia sudah tahu, tidak sedikit orang yang datang ke majelis zikirnya hanya untuk mendapatkan sesuatu di luar yang dimaksudkan Kiai Sepuh. Tidak sedikit orang yang datang ke majelis zikirnya mengharap berkah dari sang kiyai agar usahanya lancar, anaknya mendapatkan jodoh, bisa memperoleh pekerjaan dengan mudah, atau meraih jabatan tertentu. Namun, ia tidak pernah merasa mampu melarang mereka yang datang dengan tujuan lain. Bukan untuk ber-taqarrub kepada Allah. Melainkan agar usahanya maju, bisa meraih jabatan, untuk mendapat pekerjaan atau atau hal-hal yang bersifat keduniaan. ”Jadi Kamu tak perlu punya prasangka yang bukan-bukan kepada mereka,” ujar sang kiai.”Bukankah sudah sering kamu sampaikan meskipun Allah telah berfirman, Ud uuni astajib lakum, toh terkabulnya doa bisa bermacam-macam. Bisa langsung, bisa digantikan, atau ditunda di akherat kelak,” tambah sang kiai. Ustad Sani diam. Mungkinkah tausiah yang selama ini saya sampaikan tidak dipahami mereka? Tanyanya dalam batin. Namun, pertanyaan itu tak mampu ia utarakan kepada Kiai Sepuh.

Pun Ustad Sani tidak berani minta penilaian orang lain tentang caranya memberi tausiah. Sebab, hal ini dapat menyebabkan riya. Padahal riya bisa berarti syrik kecil. Atau, sebaliknya justru ia tak pernah bersedia memberikan tausiah lagi. Sebab, minta penilaian orang dapat berarti macam-macam. Bisa ditafsirkan macam-macam oleh dirinya.***

Republika, Edisi 06/18/2006


Putri Langit

Gita Nuari

Ada bulan di atas atap rumah ketika Putri Langit datang menemui Supria yang sedang tertidur di samping istrinya. “Untung kamu datang, Putri,” sambut Supria di dalam mimpinya. ”Sudah lama aku menunggumu. Ke mana saja kamu, Putri. Aku gelisah sejak sore tadi,” lanjut Supria dengan hati yang teramat girang. “Aku menemui orang-orang yang dilanda gelisah seperti kamu. Mereka semua meminta aku untuk mengunjunginya,” sahut Putri Langit sesaat setelah turun dari langit dengan mengendarai selendang kabut. “Bukankah engkau pernah berucap, diriku akan lebih engkau perhatikan ketimbang yang lain. Bukan begitu Putri?” “Benar. Perhatianku kepadamu lebih daripada yang lainnya. Tapi tidakkah engkau mengutamakan energi berpikirmu untuk anak dan istri, juga orang-orang yang dekat denganmu?” “Justru itu Putri, aku jadi tersiksa. Aku merasa dikebiri oleh mereka. Aku seperti kuda, dipecut untuk terus berjalan. Bahkan berlari mengejar yang tak pasti.”
Putri Langit terdiam. Supria merasa tak enak hati.
“Putri, maafkan aku. Aku amat serakah ingin menguasai kebaikan hatimu.” “Jangan berkata seperti itu,” ujar Putri Langit. “Semua mahluk sepertimu itu serakah. Tapi tidak seharusnya engkau seperti mereka.” “Benar, Putri. Tapi, jiwa inilah yang tak bisa tenang. Persoalan demi persoalan bemunculan tanpa peduli persoalan lama belum selesai,” beber Supria. “Sudahlah,” suara Putri Langit melunak. “Aku cukup kasihan padamu. Kemarilah lelakiku, pegang tanganku. Ayo, ikut pergi denganku,” bimbing Putri Langit membawa Supria terbang ke atas langit menerobos gumpalan-gumpalan awan.
Di atas langit, tepatnya di Kerajaan Serba Ada, Supria diturunkan. “Kita sudah sampai, lelakiku,” suara Putri Langit lembut. “Jangan sungkan untuk meminta.” Supria yang telah berada di ruang berdinding cahaya itu tampak terlihat gugup. Mungkin kehidupannya di alam fana begitu sulit untuk meraih sesuatu. Sedangkan di Kerajaan Serba Ada ini semua serba mudah. Misalnya, ketika Supria kehausan, tiba-tiba saja bermacam jenis minuman segar tersedia di hadapannya.
“Bagaimana?” Tanya Putri Langit.
“Sungguh menakjubkan!” cetus Supria terkagum-kagum.
“Di dunia kamu telah kehilangan suasana surga?” Supria tersipu malu. Disingkirkannya gelas minuman dari hadapannya, lalu menatap Putri Langit dalam-dalam. “Aku ingin bercinta,” desisnya. Kali ini Putri Langit yang tersipu malu. “Kenapa? Apa kamu menolak bercinta denganku?” kejar Supria. “Tidak,” sahut Putri Langit. “Justru aku membawamu ke sini untuk melupakan semua yang membebani pikiranmu.” Supria begitu senang hatinya mendengar Putri Langit berkata seperti itu. Dan, Supria menerima uluran tangan Putri Langit, terus mereka berpelukan. Di angkasa mereka seperti kapas berguling-guling seakan hendak menguasai alam semesta. Mereka menjelma bintang, berkelap-kelip di angkasa raya. Pada saat yang lain, mereka seperti dua cahaya meteor yang bertubrukan. Tubuh mereka memercikkan beribu cahaya. Begitu indah.
“Aku bahagia sekali, Putri.”
“Aku senang kau bisa bahagia.”
“Aku ingin memilikimu selamanya.” Putri Langit mengendurkan pelukannya, lalu berkata, “Serakah kemanusiaanmu muncul lagi. Mestinya kau tak perlu mempunyai sifat seperti itu lagi.” “Di bumi aku tersiksa sekali. Aku seperti kuda, dipecut untuk selalu terus berjalan. Aku tak mau turun lagi, Putri. Aku mau selalu bersamamu,” kata Supria memberi alasan. “Jangan begitu, lelakiku,” sanggah Putri Langit. “Aku akan datang dan membawamu ke mana kamu suka, asal kamu tidak mementingkan dirimu sendiri.”
“Apa benar begitu?” Supria jadi penasaran. Putri Langit tak menyahut. Sebaliknya, ia membawa Supria turun ke bumi untuk melihat apa yang dikerjakan oleh orang-orang dekat Supria. Siang atau malam, orang-orang yang berada di bumi tak melihat keberadaan Putri Langit atau Supria yang telah menjelma angin. “Kamu kenal dengan orang itu, lelakiku?” tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang perempuan di belakang gerobak rokok. “Hah, itu Winarti? Istriku! Sedang apa dia?” ucap Supria heran. “Lihat saja dulu, ke mana dia setelah ini,” kata Putri Langit mengenai keberadaan istri Supria di pinggir jalan. Dan, perempuan yang dikenal sebagai istrinya itu kini berjalan menuju halte bus. Sebuah bus kota muncul. Perempuan itu naik ke dalam bus kota bersama beberapa calon penumpang. Di dalam bus perempuan itu mengeluarkan alat musik sebangsa ketimpring dari dalam tasnya. Lalu perempuan itu menyanyi.
“Astaga, istriku mengamen!?” “Nah, ternyata orang yang kamu anggap telah menyiksa dirimu, justru sebaliknya. Dia lebih tabah ketimbang dirimu,” tukas Putri Langit. Mata Supria tak berkedip. “Winarti! Winarti!” teriak Supria dari atas angkasa.
“Istrimu tidak akan mendengar atau melihat. Sebab kita sedang dalam wujud angin. Mau lihat yang lainnya?” tawar Putri Langit kemudian. Supria mengangguk. Bahkan ia bernafsu ingin melihat semua kejadian pada saat dirinya berada di tempat lain. “Ayo Putri, bawa aku ke tempat orang-orang di mana aku tak ada di dekatnya.” “Dengan senang hati, lelakiku,” sambut Putri Langit seraya menuntun tangan Supria. Dan terus, mereka berkesiur ke pohon-pohon di tepi jalan sehingga menyejukkan mereka yang sedang berteduh di bawahnya. “Kamu lihat anak itu? Coba perhatikan siapa dia?” tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang anak laki-laki yang sedang menyedot minyak tanah dari mobil tangki dengan menggunakan selang yang dimasukkan ke jirigen. Bocah kecil itu melakukannya di saat mobil tangki minyak itu terjebak lampu merah. “Ya Tuhan, itu anakku! Itu anakku! Oh, sekecil itu dia sudah berada di jalan raya! Bagaimana ini, Putri?” keluh Supria semaput. “Itulah. Ternyata anakmu pun tak mau tinggal diam terhadap kehidupan ini. Meski di mata kita perbuatannya itu salah, tapi itulah yang aku bilang tadi, mereka juga sedang merasakan kesusahanmu. Ikut bersikap bagaimana untuk menata hidup ini secara benar. Bersyukurlah, anak dan istrimu sedang membangun prinsip-prinsip di dalam hidup ini.” Supria tercenung. Sebagai angin dia memilih bersemayam di dahan pohon. Bersembunyi dari hiruk-pikuk persoalan. Dia ingin berteriak tapi entah seperti apa bunyinya. Tentu anak dan istrinya tak akan tahu kalau yang berkesiur di sekelilingnya itu adalah sang suami, sang ayah yang telah berburuk sangka terhadap dirinya. “Mau lihat yang lainnya lagi?” tantang Putri Langit sambil menarik tangan Supria dari rimbun pohon yang tumbuh di tepi jalan raya itu. Supria menurut. Dia tak bisa menolak. Putri sudah berbuat baik, pikirnya. Maka dengan senang hati Supria mengikuti terus ke mana Putri Langit pergi walau harus meninggalkan raganya di tempat lain. “Apakah engkau ingin melihat orang-orang yang engkau anggap telah berjasa di tempat tinggalmu, Supria?” tanya Putri Langit kemudian.
Supria merasa senang kalau memang itu bisa. “Kamu tahu siapa dia?” tanya Putri Langit melalui lubang angin pada sebuah hotel yang mereka datangi. Ya, aku kenal. Dia adalah seorang lurah di desaku. Tapi kenapa dia bersama perempuan yang bukan istrinya?” Supria berkata. “Jangan bingung, lelakiku,” kata Putri Langit. Lalu Putri Langit membawa Supria yang tengah bingung ke sebuah hotel lainnya. “Kamu kenal dengan perempuan yang ada di dalam kamar hotel itu?” tanya Putri Langit untuk yang kesekian kali. “Oh, itu! Bukankah itu istri temanku? Mengapa dia berdua dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam hotel? Ah, dunia apa ini, Putri?” Tanpa menyahut Putri Langit membawa Supria pergi lagi untuk melihat-lihat sesuatu yang belum diketahui oleh kekasih batinnya itu melewati daerah-daerah yang belum pernah Supria kunjungi. Kedua makhluk yang menjelma angin itu berkesiur ke tenda-tenda kafe, terus naik lagi ke gedung-gedung tinggi, kemudian berhenti sebentar di sudut-sudut ruang. Hampir semua pemandangan yang dilihatnya sangat bertentangan dengan hati nuraninya. “Dan yang ini,” kata Putri Langit sambil menunjuk ke sebuah rumah yang terpisah dari perkampungan penduduk. “Kamu mungkin tak kenal dengan perempuan tua itu, tapi tentunya mengenal sekali dengan perempuan muda yang sedang terbaring itu,” lanjut Putri Langit setelah mereka masuk ke rumah itu melalui lubang angin di atas jendela. Supria terkejut bukan main. Dia hampir tak percaya.
“Astaga! Bukankah itu Punasokawati, anak tetanggaku? Oh, mengapa dia dalam keadaan setengah telanjang dengan kedua kaki direntangkan?”
“Dia mau aborsi!” sela Putri Langit.
“Apa itu aborsi?”
“Mengeluarkan jabang bayi dari rahimnya.”
“Lho, bukankah Punasokawati itu belum punya suami?” “Itulah, karena kecerobohannya mengenal laki-laki tanpa pandang bulu. Siapa saja dia pacari. Sampai-sampai dia hamil. Dia sendiri tidak tahu siapa ayah anak yang ada di dalam kandungannya itu,” jelas Putri Langit. Supria mundur. Dia mau muntah. Kepalanya berdenyut. Perutnya mual.
“Kenapa lelakiku, apa kamu terkejut?”
Supria galau.
“Apa mau lihat yang lebih gila lagi?” tawar Putri Langit kemudian. “Ti.. tidak, tidak! Sudah Putri, jangan kau teruskan lagi membawaku ke dalam kehidupan gila itu. Jangan lagi Putri! Putri!” Mendengar ocehan Supria, Winarti, istri Supria yang galak dan cerewet itu terjaga dari tidurnya. Siapa Putri? Pikirnya. ‘Kurang ajar!’ Kutuknya kemudian. Hati sang istri tiba-tiba terbakar api cemburu di pagi buta. Tanpa basa-basi lagi, sang istri itu mengambil air dari dalam gentong lalu disiramkan ke wajah suaminya. “Dasar bajingan! Siapa Putri, heh! Siaaappaaa!” teriak Winarti sambil menjambak rambut Supria dengan kasar sehingga suaminya itu terlempar dari atas tempat tidurnya. Supria yang masih gugup dan bingung itu hanya melongo di lantai kamarnya, tanpa bisa menjelaskan duduk persoalannya. ***

Suara Karya, Edisi 06/18/2006 Suara Karya, Edisi 06/18/2006

Suluk Kematian


Salman Rusydie Anwar

ADALAH belum siang betul saat aku mendapati suasana gaduh penuh tangis kematian itu. Pagi masih buta. Anak-anak belum sepenuhnya terjaga dari tidurnya. Mereka masih bergelut dengan mimpi-mimpi indahnya. Tentang alam, tentang permainan, maupun tentang dunia yang disangkanya masih bisa bertahan dengan kemolekan yang dimilikinya.

Namun, di pagi yang buta itu. Alam menegaskan keadaannya sendiri. Sebagai sesuatu yang sepenuhnya tidak bisa disangka-sangka. Ia menunjukkan bahwa apa yang dimilikinya tetap berada dalam satu kendali Yang Maha tak Terduga. Alam bergeliat dalam satu irama yang asing. Membanting-bantingkan gedung, pohon, kerikil, daun yang gugur. Bahkan anak-anak yang belum sepenuhnya terjaga dari lelapnya.

Maka, jadilah suasana di pagi hari itu sebagai penegasan tentang apa yang sesungguhnya harus aku pahami. Aku masih mengenakan mantel tebalku. Dingin. Burung-burung di sebagian tempat masih merunduk lelah. Diam. Layaknya memberi waktu bagiku untuk menyaksikan tarian-tarian ajaib tangan Tuhan.

Tarian ajaib itu tak hanya menggiringku untuk tetap terpaku pada kenyataan maut yang bergentayangan dan memaksaku untuk berteriak, menangis. Penuh ketakutan. Namun sekaligus tarian-tarian maut itu mengocok perutku untuk terpingkal-pingkal tertawa. Karena bayangan kematian yang mengancam itu terlihat begitu lucu. Setidaknya untuk ditakuti.

Atas tarian ajaib tangan Tuhan. Atas guncangan yang melempar-lemparkan guguran dedaunan. Orang-orang melolong-lolong di sekitarku. Menumpahkan serak parau suara mereka ke dalam irama yang satu. Ketakutan. Kepanikan. Ancaman kematian, terus membuntuti gerak langkah mereka yang berlarian. Berhamburan. Sampai terlihat olehku di antara mereka. Ambruk. Bagai tumbangnya pepohonan. Darah berhambur ke arah-arah. Mulut mengerang. Matanya terpejam pasrah. Sebuah balok beton begitu angkuh menindihnya. Akhh…! Suaranya kini mulai melemah. Sebelum akhirnya ia beku. Direngkuh sunyi yang sesungguhnya.

Sementara orang-orang di sekitarnya terus mempercepat langkah. Tanpa sedikitpun menoleh dan memberinya ucapan selamat tinggal. Ia yang ambruk, telah menjadi bagian beton-beton yang patah. Yang terus dilalui oleh langkah yang panik. Yang tak boleh disentuh, kalau tidak ingin maut menyentuhnya. Semacam egoisme yang tak menemukan pilihan untuk tidak dilakukan. Aku pun terdiam. Entah menerima atau sebaliknya mengutuk. Tapi pagi itu, semuanya terjadi tanpa pertimbangan-pertimbangan yang bisa dilakukan. Semua orang mesti merasa perlu untuk hanya tahu apa yang bagi mereka sangat berharga. Hidup. Dan selamat di antara bayangan kematian yang sangat serius mengancam.

Aku, seperti terus dipaksa untuk terus tetap berdiri di atas bongkahan-bongkahan tubuh manusia. Tak kuhiraukan orang-orang yang tak sengaja menubruk tubuhku. Tanah yang kupijak kurasakan terus berderak-derak. Menderitkan suara kematian yang semakin jalang mengancam. Aku pun tak bisa berdoa jika hal itu hanya bisa kulakukan sendiri. Sementara orang-orang terus menjerit-jerit. Tak jelas melafalkan suara apa. Tapi, bukankah Tuhan tak perlu diberi penjelasan tentang apa yang kami semua harapkan. Ia tahu betul apa makna di balik histerisnya orang-orang. Aku tetap terdiam. Membiarkan maut mengancamku yang di mana saja dan kejadian apa saja tetap tak bisa kutolak. Tapi bagaimana dengan mereka?

Setelah semuanya terlihat begitu mencekam. Akhirnya malam pelan-pelan merayap. Aku pun memutuskan untuk pergi. Kususuri puing-puing yang ambruk itu. Aku terus berjalan ke arah timur. Aku, pada waktu itu, merasa harus menemui-Mu secepatnya. Setidaknya meminta-Mu penjelasan. Tentang atas dasar apa Kau lakukan semua ini. Aku tahu bahwa setelah perjanjian itu, Kau tak memperbolehkan aku untuk menemui-Mu. Apalagi bertanya tentang apa saja yang Kau lakukan. Kau memintaku untuk diam. Lebih tepatnya bersabar atas semua perbuatan-Mu yang tak sepenuhnya masuk di akalku.

Akh…, betapa Kau telah menjadikan aku layaknya seperti Musa. Yang tak boleh bertanya ketika sang Khidir menenggelamkan sebuah perahu milik si miskin. Ketika ia dengan dingin menggorok leher seorang bocah yang sedang asyik bermain. Atau bahkan ketika ia dengan susah payah memperbaiki sebuah rumah, di mana itu semua ia lakukan tanpa imbal jasa. Tanpa perhitungan apa-apa sampai Musa sendiri bergumam, ”Betapa bodohnya engkau atas semua perbuatan yang kau lakukan ini, Khidir”. Dan demi mendengar itu, si Khidir memutuskan untuk tidak lagi bersama Musa.

Tapi aku tahu bahwa Kau bukan si Khidir itu. Setidaknya Kau bukan bagian dari mereka. Bukan bagian dari siapa saja. Kau adalah pribadi yang bebas dari pengaruh siapa pun. Dan karena itu, aku terus mencari-Mu. Meminta penjelasan atas semua tindakan-Mu pada hari itu.

Engkau tahu sendiri. TindakanMu telah menjadi penyebab dari terjadinya beberapa kehilangan-kehilangan. Anak-anak itu. Lihatlah. Ia terlepas dari dekapan ibunya untuk pergi ke suatu alam yang tak memberinya kemungkinan untuk kembali. Lihat juga para orang-orang yang sudah tua renta itu. Ia telah kehilangan kesempatan menikmati sisa hidupnya bersama para cucu mereka yang tersayang.

”Kau hanya bisa mencercaKu dengan pertanyaan-pertanyaan konyolmu itu. Sementara Aku, harus terus berusaha menunjukkan betapa Aku masih memiliki kuasa atas hidup mereka. Setidaknya atas kecongkakan mereka yang ditujukan padaKu dari hari ke hari,” suaraMu kudengar menggelegar.

Aku mengangkat kepala. Berusaha membantah dengan cara menatapMu. ”Baiklah kalau memang itu alasanMu. Aku tak keberatan. Kau memang memiliki hak untuk melakukan itu semua. Sebab segalanya memang Engkaulah pengaturnya. Tapi aku sungguh menyesalkan, betapa Engkau tidak memilah-milah kepada siapa seharusnya kuasaMu mesti Kau tunjukkan”.

Aku tak mendengar lagi suaraMu selain suara deru angin yang menusuk-nusuk hidungku. Ada bau anyir darah yang tiba-tiba menyengat. Seperti terus mengobarkan aroma kematian yang seakan terus berseliweran di hadapanku. Malam semakin pekat. Burung-burung hantu terus mendesiskan suara-suara mistisnya di tengah-tengah rinai gerimis yang mulai turun secara tiba-tiba.

”Di mana, Kau?” tanyaku dengan setengah berteriak. ”Ayo keluarlah. Jangan bersembunyi dan kembali membuat teka-teki. Kau masih harus menjelaskan kepadaku tentang alasan dari semua perbuatanMu ini. Keluarlah dan tampakkan wujudMu”.

Angin berhembus semakin kencang. Tanah yang kupijak kembali bergoyang. ”Hei, hentikan perbuatanMu ini. Apa Kau tidak tahu apa akibat dari perbuatanMu ini!!”

Kau tetap tak memberiku jawaban. Selain tanah yang terus kelihatan hilang keseimbangan. Aku sendiri kini semakin ingin memburuMu. MempersoalkanMu dan segalanya seperti hendak kutumpahkan kepadaMu. Di tengah suaraku yang semakin tak jernih didengar. Aku terus berteriak-teriak. Memanggil-manggilMu dari segala arah. Kau tak jua semakin bergegas menemuiku. Sehingga karenanya aku semakin memanggilMu dengan penuh keberangan.

”Kau tak perlu berteriak-teriak seperti itu. Toh, kenyataannya Aku berada lebih dekat dari urat lehermu. Lagipula apa hakmu mencari-cari. Aku, sekadar untuk mengetahui alasanKu berbuat begitu pada tempatmu. Pada daerahmu. Kau seperti halnya dengan mereka juga. Semuanya berada di bawah kekuasaanKu. Jadi apapun yang Aku lakukan, sepenuhnya itu berada dalam hakKu. Dan kau, juga semuanya, hanya memiliki dua pilihan sikap terhadap tindakanKu. Bersabar, atau pergi saja ke mana kau suka.

Tapi yang harus kalian semua ingat adalah; bahwa itu semua, Aku lakukan semata-mata untuk mengetahui secara pasti apakah kalian masih menganggapKu ada atau tidak. Masih menjadikanKu sebagai satu-satunya jaminan atas segala urusan hidupmu atau malah sebaliknya, mengacuhkan.

Kalian semua, sedikitpun tidak memiliki hak untuk memberiKu ukuran-ukuran berupa apa saja atas kejadian ini. Apakah kemudian, kalau Aku porak porandakan kehidupan mereka lantas kau menganggapKu tidak lagi mengasihimu. Tidak lagi menyayangimu? Kalau memang benar demikian anggapanmu terhadapKu, maka ketahuilah bahwa itu semua adalah salah. Karena hal itu adalah ukuran-ukuranmu belaka yang hanya dipaksakan untuk mensifati kedirianKu atau lebih tepatnya menudingKu tak memiliki belas kasihan.

Ingat! Aku memiliki banyak cara yang tak terbatas untuk menunjukkan betapa Aku sangat berkuasa di samping Aku juga penyayang bagi semua. Tak terkecuali dengan apa yang menimpamu saat ini. Kau bisa juga beranggapan, bahwa bencana yang meluluhlantakkan daerahmu, ciptaan dan kepunyaanKu, yang telah menyebabkan orang-orang dekat yang kau cintai itu semuanya menghilang secara tiba-tiba sebagai cobaan kepedihan dan sebuah bencana malapetaka.

Tapi, pernahkah kau berpikir bahwa apa yang kau anggap sebagai bencana, berarti pula bernilai malapetaka bagiKu. Belum tentu demikian. Karena, walau bagaimanapun, kau tak memiliki kesanggupan untuk tahu dengan urusan dan rencana-rencanaKu. Kau hanya tahu meminta agar Aku mengasihimu, menyayangimu mulai sejak lahir sampai ajal memanggil. Dan kau hanya tahu bahwa wujud kasih sayangKu bisa kau terima selama ini memberikan rasa nikmat, rasa senang, rasa nyaman dan aman. Padahal, ukuran-ukuran seperti itu hanyalah semata kecenderunganmu mengikuti nafsu belaka.

Padahal, Aku memiliki banyak jalan untuk mewujudkan kasih sayangKu. Sekalipun itu dengan jalan yang menyakitkan hatimu. Tapi itulah Aku. Sekali lagi itulah Aku. Yang tidak bisa seenak rasamu dituntut memenuhi kenyamanan demi kenyamanan yang kau pinta. Aku mesti memberimu kasih sayang. Meski hal itu Aku wujudkan dalam bentuk guncangan demi guncangan yang melanda rumahmu itu. Tapi Aku tidak tahu apa kau bisa menemukan taburan kasih sayangKu?

Terhadap orang-orang yang telah dengan begitu tiba-tiba pergi dari kehidupanmu, kau tak perlu risau. Kepada mereka semua Aku hanya merasa kasihan sebab sudah terlalu lama mereka menanti-nanti kebahagiaan yang pernah dijanjikan para penguasamu. Daripada kebahagiaan yang mereka nanti-nanti itu tak kunjung datang. Kenapa tidak saja bergabung dengan orang-orangKu yang telah berbahagia. Karenanya Kupanggil mereka semua untuk secepat mungkin merasakan kebahagiaan yang telah lama mereka impikan. Jadi, kenapa kau mesti bersedih atas hal yang tidak sepenuhnya kau ketahui ini, hah…! Oh, iya. Apa kau masih bisa mengikuti jalan pikiranKu?” tanyaMu kemudian.

Tak ada yang bisa kuucapkan sebagai jawaban atas pertanyaanMu itu. Bahkan, sekalipun Kau mengulangi dan memaksaku menjawab pertanyaanMu. Aku tetap tidak bisa memberikan jawaban. Aku memilih untuk terdiam. Beku. Mencoba memahami apa yang baru saja Kau sebut sebagai jalan pikiran. Yah…, Jalan Pikiran-Mu.

Susah. Waktu membeku. Seperti aku. Di hadapanMu. Pada hari bencana itu.*** ADALAH belum siang betul saat aku mendapati suasana gaduh penuh tangis kematian itu. Pagi masih buta. Anak-anak belum sepenuhnya terjaga dari tidurnya. Mereka masih bergelut dengan mimpi-mimpi indahnya. Tentang alam, tentang permainan, maupun tentang dunia yang disangkanya masih bisa bertahan dengan kemolekan yang dimilikinya.

Namun, di pagi yang buta itu. Alam menegaskan keadaannya sendiri. Sebagai sesuatu yang sepenuhnya tidak bisa disangka-sangka. Ia menunjukkan bahwa apa yang dimilikinya tetap berada dalam satu kendali Yang Maha tak Terduga. Alam bergeliat dalam satu irama yang asing. Membanting-bantingkan gedung, pohon, kerikil, daun yang gugur. Bahkan anak-anak yang belum sepenuhnya terjaga dari lelapnya.

Maka, jadilah suasana di pagi hari itu sebagai penegasan tentang apa yang sesungguhnya harus aku pahami. Aku masih mengenakan mantel tebalku. Dingin. Burung-burung di sebagian tempat masih merunduk lelah. Diam. Layaknya memberi waktu bagiku untuk menyaksikan tarian-tarian ajaib tangan Tuhan.

Tarian ajaib itu tak hanya menggiringku untuk tetap terpaku pada kenyataan maut yang bergentayangan dan memaksaku untuk berteriak, menangis. Penuh ketakutan. Namun sekaligus tarian-tarian maut itu mengocok perutku untuk terpingkal-pingkal tertawa. Karena bayangan kematian yang mengancam itu terlihat begitu lucu. Setidaknya untuk ditakuti.

Atas tarian ajaib tangan Tuhan. Atas guncangan yang melempar-lemparkan guguran dedaunan. Orang-orang melolong-lolong di sekitarku. Menumpahkan serak parau suara mereka ke dalam irama yang satu. Ketakutan. Kepanikan. Ancaman kematian, terus membuntuti gerak langkah mereka yang berlarian. Berhamburan. Sampai terlihat olehku di antara mereka. Ambruk. Bagai tumbangnya pepohonan. Darah berhambur ke arah-arah. Mulut mengerang. Matanya terpejam pasrah. Sebuah balok beton begitu angkuh menindihnya. Akhh…! Suaranya kini mulai melemah. Sebelum akhirnya ia beku. Direngkuh sunyi yang sesungguhnya.

Sementara orang-orang di sekitarnya terus mempercepat langkah. Tanpa sedikitpun menoleh dan memberinya ucapan selamat tinggal. Ia yang ambruk, telah menjadi bagian beton-beton yang patah. Yang terus dilalui oleh langkah yang panik. Yang tak boleh disentuh, kalau tidak ingin maut menyentuhnya. Semacam egoisme yang tak menemukan pilihan untuk tidak dilakukan. Aku pun terdiam. Entah menerima atau sebaliknya mengutuk. Tapi pagi itu, semuanya terjadi tanpa pertimbangan-pertimbangan yang bisa dilakukan. Semua orang mesti merasa perlu untuk hanya tahu apa yang bagi mereka sangat berharga. Hidup. Dan selamat di antara bayangan kematian yang sangat serius mengancam.

Aku, seperti terus dipaksa untuk terus tetap berdiri di atas bongkahan-bongkahan tubuh manusia. Tak kuhiraukan orang-orang yang tak sengaja menubruk tubuhku. Tanah yang kupijak kurasakan terus berderak-derak. Menderitkan suara kematian yang semakin jalang mengancam. Aku pun tak bisa berdoa jika hal itu hanya bisa kulakukan sendiri. Sementara orang-orang terus menjerit-jerit. Tak jelas melafalkan suara apa. Tapi, bukankah Tuhan tak perlu diberi penjelasan tentang apa yang kami semua harapkan. Ia tahu betul apa makna di balik histerisnya orang-orang. Aku tetap terdiam. Membiarkan maut mengancamku yang di mana saja dan kejadian apa saja tetap tak bisa kutolak. Tapi bagaimana dengan mereka?

Setelah semuanya terlihat begitu mencekam. Akhirnya malam pelan-pelan merayap. Aku pun memutuskan untuk pergi. Kususuri puing-puing yang ambruk itu. Aku terus berjalan ke arah timur. Aku, pada waktu itu, merasa harus menemui-Mu secepatnya. Setidaknya meminta-Mu penjelasan. Tentang atas dasar apa Kau lakukan semua ini. Aku tahu bahwa setelah perjanjian itu, Kau tak memperbolehkan aku untuk menemui-Mu. Apalagi bertanya tentang apa saja yang Kau lakukan. Kau memintaku untuk diam. Lebih tepatnya bersabar atas semua perbuatan-Mu yang tak sepenuhnya masuk di akalku.

Akh…, betapa Kau telah menjadikan aku layaknya seperti Musa. Yang tak boleh bertanya ketika sang Khidir menenggelamkan sebuah perahu milik si miskin. Ketika ia dengan dingin menggorok leher seorang bocah yang sedang asyik bermain. Atau bahkan ketika ia dengan susah payah memperbaiki sebuah rumah, di mana itu semua ia lakukan tanpa imbal jasa. Tanpa perhitungan apa-apa sampai Musa sendiri bergumam, ”Betapa bodohnya engkau atas semua perbuatan yang kau lakukan ini, Khidir”. Dan demi mendengar itu, si Khidir memutuskan untuk tidak lagi bersama Musa.

Tapi aku tahu bahwa Kau bukan si Khidir itu. Setidaknya Kau bukan bagian dari mereka. Bukan bagian dari siapa saja. Kau adalah pribadi yang bebas dari pengaruh siapa pun. Dan karena itu, aku terus mencari-Mu. Meminta penjelasan atas semua tindakan-Mu pada hari itu.

Engkau tahu sendiri. TindakanMu telah menjadi penyebab dari terjadinya beberapa kehilangan-kehilangan. Anak-anak itu. Lihatlah. Ia terlepas dari dekapan ibunya untuk pergi ke suatu alam yang tak memberinya kemungkinan untuk kembali. Lihat juga para orang-orang yang sudah tua renta itu. Ia telah kehilangan kesempatan menikmati sisa hidupnya bersama para cucu mereka yang tersayang.

”Kau hanya bisa mencercaKu dengan pertanyaan-pertanyaan konyolmu itu. Sementara Aku, harus terus berusaha menunjukkan betapa Aku masih memiliki kuasa atas hidup mereka. Setidaknya atas kecongkakan mereka yang ditujukan padaKu dari hari ke hari,” suaraMu kudengar menggelegar.

Aku mengangkat kepala. Berusaha membantah dengan cara menatapMu. ”Baiklah kalau memang itu alasanMu. Aku tak keberatan. Kau memang memiliki hak untuk melakukan itu semua. Sebab segalanya memang Engkaulah pengaturnya. Tapi aku sungguh menyesalkan, betapa Engkau tidak memilah-milah kepada siapa seharusnya kuasaMu mesti Kau tunjukkan”.

Aku tak mendengar lagi suaraMu selain suara deru angin yang menusuk-nusuk hidungku. Ada bau anyir darah yang tiba-tiba menyengat. Seperti terus mengobarkan aroma kematian yang seakan terus berseliweran di hadapanku. Malam semakin pekat. Burung-burung hantu terus mendesiskan suara-suara mistisnya di tengah-tengah rinai gerimis yang mulai turun secara tiba-tiba.

”Di mana, Kau?” tanyaku dengan setengah berteriak. ”Ayo keluarlah. Jangan bersembunyi dan kembali membuat teka-teki. Kau masih harus menjelaskan kepadaku tentang alasan dari semua perbuatanMu ini. Keluarlah dan tampakkan wujudMu”.

Angin berhembus semakin kencang. Tanah yang kupijak kembali bergoyang. ”Hei, hentikan perbuatanMu ini. Apa Kau tidak tahu apa akibat dari perbuatanMu ini!!”

Kau tetap tak memberiku jawaban. Selain tanah yang terus kelihatan hilang keseimbangan. Aku sendiri kini semakin ingin memburuMu. MempersoalkanMu dan segalanya seperti hendak kutumpahkan kepadaMu. Di tengah suaraku yang semakin tak jernih didengar. Aku terus berteriak-teriak. Memanggil-manggilMu dari segala arah. Kau tak jua semakin bergegas menemuiku. Sehingga karenanya aku semakin memanggilMu dengan penuh keberangan.

”Kau tak perlu berteriak-teriak seperti itu. Toh, kenyataannya Aku berada lebih dekat dari urat lehermu. Lagipula apa hakmu mencari-cari. Aku, sekadar untuk mengetahui alasanKu berbuat begitu pada tempatmu. Pada daerahmu. Kau seperti halnya dengan mereka juga. Semuanya berada di bawah kekuasaanKu. Jadi apapun yang Aku lakukan, sepenuhnya itu berada dalam hakKu. Dan kau, juga semuanya, hanya memiliki dua pilihan sikap terhadap tindakanKu. Bersabar, atau pergi saja ke mana kau suka.

Tapi yang harus kalian semua ingat adalah; bahwa itu semua, Aku lakukan semata-mata untuk mengetahui secara pasti apakah kalian masih menganggapKu ada atau tidak. Masih menjadikanKu sebagai satu-satunya jaminan atas segala urusan hidupmu atau malah sebaliknya, mengacuhkan.

Kalian semua, sedikitpun tidak memiliki hak untuk memberiKu ukuran-ukuran berupa apa saja atas kejadian ini. Apakah kemudian, kalau Aku porak porandakan kehidupan mereka lantas kau menganggapKu tidak lagi mengasihimu. Tidak lagi menyayangimu? Kalau memang benar demikian anggapanmu terhadapKu, maka ketahuilah bahwa itu semua adalah salah. Karena hal itu adalah ukuran-ukuranmu belaka yang hanya dipaksakan untuk mensifati kedirianKu atau lebih tepatnya menudingKu tak memiliki belas kasihan.

Ingat! Aku memiliki banyak cara yang tak terbatas untuk menunjukkan betapa Aku sangat berkuasa di samping Aku juga penyayang bagi semua. Tak terkecuali dengan apa yang menimpamu saat ini. Kau bisa juga beranggapan, bahwa bencana yang meluluhlantakkan daerahmu, ciptaan dan kepunyaanKu, yang telah menyebabkan orang-orang dekat yang kau cintai itu semuanya menghilang secara tiba-tiba sebagai cobaan kepedihan dan sebuah bencana malapetaka.

Tapi, pernahkah kau berpikir bahwa apa yang kau anggap sebagai bencana, berarti pula bernilai malapetaka bagiKu. Belum tentu demikian. Karena, walau bagaimanapun, kau tak memiliki kesanggupan untuk tahu dengan urusan dan rencana-rencanaKu. Kau hanya tahu meminta agar Aku mengasihimu, menyayangimu mulai sejak lahir sampai ajal memanggil. Dan kau hanya tahu bahwa wujud kasih sayangKu bisa kau terima selama ini memberikan rasa nikmat, rasa senang, rasa nyaman dan aman. Padahal, ukuran-ukuran seperti itu hanyalah semata kecenderunganmu mengikuti nafsu belaka.

Padahal, Aku memiliki banyak jalan untuk mewujudkan kasih sayangKu. Sekalipun itu dengan jalan yang menyakitkan hatimu. Tapi itulah Aku. Sekali lagi itulah Aku. Yang tidak bisa seenak rasamu dituntut memenuhi kenyamanan demi kenyamanan yang kau pinta. Aku mesti memberimu kasih sayang. Meski hal itu Aku wujudkan dalam bentuk guncangan demi guncangan yang melanda rumahmu itu. Tapi Aku tidak tahu apa kau bisa menemukan taburan kasih sayangKu?

Terhadap orang-orang yang telah dengan begitu tiba-tiba pergi dari kehidupanmu, kau tak perlu risau. Kepada mereka semua Aku hanya merasa kasihan sebab sudah terlalu lama mereka menanti-nanti kebahagiaan yang pernah dijanjikan para penguasamu. Daripada kebahagiaan yang mereka nanti-nanti itu tak kunjung datang. Kenapa tidak saja bergabung dengan orang-orangKu yang telah berbahagia. Karenanya Kupanggil mereka semua untuk secepat mungkin merasakan kebahagiaan yang telah lama mereka impikan. Jadi, kenapa kau mesti bersedih atas hal yang tidak sepenuhnya kau ketahui ini, hah…! Oh, iya. Apa kau masih bisa mengikuti jalan pikiranKu?” tanyaMu kemudian.

Tak ada yang bisa kuucapkan sebagai jawaban atas pertanyaanMu itu. Bahkan, sekalipun Kau mengulangi dan memaksaku menjawab pertanyaanMu. Aku tetap tidak bisa memberikan jawaban. Aku memilih untuk terdiam. Beku. Mencoba memahami apa yang baru saja Kau sebut sebagai jalan pikiran. Yah…, Jalan Pikiran-Mu.

Susah. Waktu membeku. Seperti aku. Di hadapanMu. Pada hari bencana itu.*** v

Kedaulatan Rakyat, Edisi 06/18/2006


Bidadari itu Dibawa Jibril

Bidadari itu Dibawa Jibril

A Mustofa Bisri

SEBELUM jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah–dia biasa memanggilnya ukhti–jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas. Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, “Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;” katanya, “Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!” Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. “Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu.” Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. “Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!”Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama. Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.

***Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan. Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, “Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?”"Syeikh baru?” tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar.”Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.”"Siapa, mas?” tanyaku benar-beRata Penuhnar ingin tahu.”Jibril, mas. Malaikat Jibril!”"Jibril?” aku tak bisa menahan tertawaku. Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak.”Jangan ketawa! Ini serius!”"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?” aku masih kurang percaya.”Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.”Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. “Bagaimana ceritanya, mas?”"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.”"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?”"Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.”"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!” selaku, “Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.”"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo.”"Wah.”Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun. Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini “hanya” menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

***Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.”Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri.”"Apa, mas?” aku terkejut setengah mati, “membakar diri bagaimana?”"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.”"Hei,” aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.”Yang lucu, mas,” suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, “gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?!”Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon.”Doakan sajalah mas!” kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.”Pernah pulang sebentar, mas” kata Mas Danu di telepon, “dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?”

***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: “Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).”Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.*

**Rembang, Akhir Ramadan 1423

Sumber: Media Indonesia, Edisi 03/09/2003

Gus Jakfar

Gus Jakfar

A Mustofa Bisri

Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu, “Saya sendiri tidak paham apa maksudnya.” “Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, “Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?!’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya.” “Kang Kandar kan juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet,