Jumat, 24 Januari 2014

Kadang aku berfikir, aku salah hidup di sini

Aku tak mengerti
kadang kurasa aku salah hidup di sini.
Bagai mana tidak, saat jalan di depan rumah saja misalnya tergenang air karena selokan meluap,
aku bilang ini bukan karena jalannya kurang tinggi, tapi
apa kata orang-orang disekitarku: Ini nih jalannya paling rendah,
yah kalo mau tak tergenang yah ditimbun aja biar lebih tinggi.
ku bilang perlu penormalan saluran air, namun
tak ada yang setuju.
Kalaupun ku kerjakan sendiri
orang pada tidak mendukung karena
banyak selokannya akan terusik.
Namun
kalau jalan tergenang
pada mengeluh.
Aku tak mengerti
kejadian seperti itu tak hanya menimpa didepanku,
banyak jalan-jalan yang ku lalui
sepertinya sama aja,
pemangku permasalahan jalan raya pun menempuh cara seperti orang-orang di sekitarku.
Jalan tergenang,
 tinggiin jalan.
Aspal cepat rusak
ganti corcoran 
tak pernah kulihat memperbaiki selokannya,
membuat desain pembangunan maupun aturan agar selokan tidak cepat penuh.
Aku tak mengerti kenapa sekelas pemerintah tidak berfikir apa penyebab permasalahan baru bertindak menyelesaikannya. Ataukah mereka berfikir yang lain...
Aku tak mengerti...
Aku tak mengerti kenapa orang-orang sekitarku sesalalu bersebrangan dengan jalan pikiranku.
Ataukah aku yang salah berfikir.
Aku tek mengerti....

Dialog Ketuhanan-1

Dialog Ketuhanan

by elkace

Hayran (H)
Syaikh (S)
Apakah penggambaran kejadian alam dari ketiadaan meniscayakan adanya kontradiksi akal? Coba engkau renungkan!
Hayran (H)
Sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, kontradiksi akal itu hanya akan terjadi ketika kita membayangkan bahwa kejadian alam ini tidak di dahului oleh ketiadaan.
Syaikh (S)
Kalau begitu, kejadian alam dari ketiadaan bukanlah sesuatu yang mustahil menurut pertimbangan akal, meskipun menurut kebiasaan, hal itu adalah mustahil dan tidak mudah untuk kita bayangkan, sebagaimana yang juga dikatakanb oleh Leibnitz.
Hayran (H)
Memang, menurut pertimbangan akal, hal itu tidak mustahil. Akan tetapi, Syaikh, saya masih tidak mampu membayangkannya melalui metode pembuktian akal yang pasti bahwa hal itu menurut pertimbangan akal adalah mungkin, meskipun saya meyakininya dengan benar. Bahkan, yang mustahil ialah eksistensi alam yang mungkin ini tidak didahului oleh ketiadaan. Apa yang harus saya perbuat dengan ketidakmampuan saya ini?
Syaikh (S)
Apa saja nilai yang bias diambil dari ketidakmampuan dihadapan dalil pembuktian yang pasti ini? Posisiku tidak berbeda denganmu. Rasanya tidak tidak mampu akal pikiranku membayangkan creatio ec nihilo. Namun demikian, aku tetap meyakini bahwa ketidakmampuan ini hanyalah angan-angan yang lemah dan lucu. Ketepakuan dihadapan persoalan ini menunjukkan adanya kekacauan akal.
Hayran (H)
Mengapa demikian?
Syaikh (S)
Tidakkah engkau percaya kepada kebenaran-kebenaran matematika dan meyakini pelbagai kesimpulan?
Hayran (H)
Mengapa tidak Syaikh?
Syaikh (S)
Tidaklah engkau pun telah mengetahui bahwa banyak kebenaran matematika yang berpijak pada pelbagai aksioma, pada mulanya, masih menjadi rahasia dan tampak samar bagimu kecuali setelah melalui perenungan, penarikan kesimpulan, dan pembuktian?
Hayran (H)
Benar syaikh. Saya baru dapat membayangkannya setelah mengadakan perenungan dan pembuktian.
Syaikh (S)
Apa pendapatmu jika kusebutkan untukmu soal hitungan yang sangat sederhana sekali, yang menjadi dasar pembuktian akal yang pasti, namun akalmu tidak mampu mabayangkannya hingga perhitungan selesai?
Hayran (H)
Misalnya?
Syaikh (S)
Hayran, coba perhatikan perhitungan angka-angka besar. Akal-akal kita tidak mampu membayangkan sejumlah kebenaran yang nyata, yang hanya membutuhkan perenungan sedikit dan perhitungan didalam penjumlahan. Ketidak mampuan akal ini aneh sekali hingga akal pun membantah kesimpulannya, meskipun hal itu dipermaklumkan oleh orang-orang yang paling jujur dan paling tahu. Akal juga tetap tidak akan mampu membayangkan kesimpulannya, walaupun ia bisa dicapai oleh dirinya sendiri. Tidakkah engkau mengetahui teka-teki kertas yang terpotong-potong?
Hayran (H)
Tidak, Syaikh.
Syaikh (S)
Seandainya engkau diberi kertas yang sangat tipis yang tebalnya hanya seperseratus millimeter dan engkau diminta untuk memotongnya menjadi dua bagia, lalu yang dua bagian ini dipotong menjadi empat bagian, kemudian yang empat bagian inipun dipotong lagi menjadi delapan bagian, dan begitu seterusnya hingga mencapai empatpuluh delapan bagian dan lipatan; selanjutnya, sebelum engkau memulai memotong dan hitung, engkau ditanya, berapa kira-kira tebal kertas yang tipis ini setelah dipotong hingga empat puluh delapan kali? Lantas, engkau pun menjawab-satu, dua, atau tiga meter. Kemudian, apabila engkau diberitahu bahwa tebal kertas ini mesti melebihi sepuluh kilometer, tentu engkau tidak akan percaya. Seandainya engkau diberitahu bahwa apabila kertas itu dipotong-potong hingga empat puluh delapan kali, lantas potongan-potongan itu ditumpuk dengan teratur ke atas (langit), maka tumpukan kertas itu akan mencapai – atau hampir mencapai – bulan yang berjarak kurang lebih 384 000 Km dari bumi, tentu engkau akan lari karena terkejut, bahkan akan menduga bahwa orang yang berkata demikian itu bermaksud mengejekmu. Setelah engkau meneliti perhitungan itu dengan cara sederhana – seandainya engkau ingin membuktikannya, maka akalmu akan tumpul dan tidak mampu membayangkannya. Hayran, coba ambil pena dan hitunglah!
……………….
…………….
X=2^n
Hayran (H)
Ternyata benar, Syaikh! Tebalkertas itu hampir mendekati 384 000 km. Benar pula, tumpukan-tumpukan kertas itu hampir menyentuh bulan. Ini benar-benar aneh dan menakjubkan.
Syaikh (S)
Kini aku bertanya kepadamu. Dapatkah engkau membayangkan kesimpulan dari tekateki ini setelah engkau melakukan sendiri perhitungannya? Ataukah engkau masih merasakan ketidakmampuan akal untuk membayangkannya?
Hayran (H)
Saya, benar-benar masih merasakan ketidakmampuan akal untuk membayangkannya.
Syaikh (S)
Sekarang, apakah engkau telahmengetahui dan meyakini bahwa akal-akal kita kadangkala tidak mampu menggambarkan banyak kebenaran yang telah dibuktikan kesahihannya dengan akal.?
Hayran (H)
Ya, saya meyakininya. Namun, mengapa hal itu terjadi?
Syaikh (S)
Sebab akal-akal kita diciptakan dalam keadaan tidak mampu membayangkan realitas sesuatu itu secara rasional. Jadi, penggambaran itu, Hayran, bukanlah kerja akal. Oleh karena itu, engkau kadangkala dapat memikirkan sesuatu, tetapi tidak dapat menggambarkannya. Sebab, pemikiran disandarkan pada sejumlah informasi awal itu bias pula digali dari yang lain atau sebagiannya dibangun diatas yang lain. Dengan demikian, sampailah pemikiran pada kepastian akal, yang kadangkala tidak dapat dibayangkan. Apakah engkau sekarang sudah paham?
Hayran (H)
Ya, sekarang saya sudah paham.

diambil dari:
http://elkace.wordpress.com/2007/09/03/dialog-ketuhanan/#more-6
Buku: Syaikh Nadhim Al Jisr, Para Pencari Tuhan
Syaikh Nadim al-JisrPara Pencari Tuhan; Dialog Alquran, Filsafat, dan Sains dalam Bingkai Keimanan. Bandung, Pustaka Hidayah: 1999.